Jam sudah menunjukan pukul 06:30, namun langit masih nampak gelap
terselimuti awan hitam. Hembusan angin pun terasa sangat ngilu menembus
pori-pori kulitku, nampaknya cuaca hari ini tidak bagus atau mungkin
paham akan hatiku yang kacau balau tak menentu. “Ayell, kenapa masih
disitu? Cepat berangkat nanti keburu hujan”. Ujar bundaku setengah
berteriak. “Ya bun..” sahutku lemas, sambil memulai mengayuh sepeda, aku
berangkat dengan hati tanpa semangat. Aku masih tidak percaya dengan
perkataan Fakhri sahabatku kemarin, dengan ringannya ia berkata ‘tolong
ngertiin gue, gue sekarang udah punya Fairy pacar gue, dan dia gak suka
gue deket-deket lo, jadi jauhi gue dulu’. Perkataan yang tak pernah aku
sangka bisa terlontar begitu ringannya dari mulut sahabat terbaikku
selama ini, 9 tahun bersahabat dan dia memintaku menjauhinya hanya
karena seorang Fairy yang baru dikenalnya.
Sesampainya di sekolah, aku masih belum bisa menepis bayangan
kata-kata menyakitkan itu. Aku duduk di kursi koridor sekolah, tatapanku
kosong, persaanku tak menentu, hatiku merasa sangat sepi entahlah
padahal anak-anak berlalu lalang di depanku tanpa henti. “Ayeeell”
teriak Saufi membuyarkan lamunanku. “Ah lo ini bikin gue kaget aja”
“Haha.. sory sory, eh Fakhri kemana?”. Tegg.. rasanya ingin berteriak
“gue bukan sahabatnya lagi!” tapi hatiku masih berharap Fakhri akan
kembali. “Heh.. ditanya malah bengong!” sentak Saufi. “Gak tau, gue gak
tau” ujarku terbata. “Tumben lo gak tau, katanya soulmate”. aku hanya
tertunduk lesu “kenapa lo, lagi ada masalah sama Fakhri?” tanya Saufi
yang melihat perubahan ekspresi wajahku “Gak papa.. ke kelas yuk”
sahutku seraya beranjak menuju kelas.
Sepulang sekolah aku membaringkan tubuhku di atas kasur, aku coba
melupakan semuanya, melupakan perkataan menyakitkan yang terlontar dari
mulut Fakhri kemarin. Namun entah, semakin aku mencoba melupakan semakin
sering perkataan itu muncul di benakku. Ku coba menghilangkan rasa
sedihku dengan membuka jejaring sosial, berharap ada sedikit hiburan di
dalamnya yang membuatku sejenak lupa dengan perkataan Fakhri. Aku mulai
membuka twitter, deggg… aku terhenyat ketika Fakhri tak lagi jadi
followers ku, itu artinya di meng’unfollow twitter ku. Tak terasa air
mataku mengalir, “Apa segitu gak maunya lagi lo kenal gue Ri” desisku
lirih. Aku menangis dalam kesendirian, menagisi kekecewaan yang teramat
perih.
Aku merasa semuanya telah berlalu, persahabatan yang aku jaga
bertahun-tahun hancur dalam hitungan hari, dan semua itu karena cinta.
Karena cinta Fakhri yang mungkin teramat dalam untuk Fairy, sehingga dia
tak lagi peduli dengan perasaan sahabatnya ini. Aku tahu kami kini tak
lagi anak-anak, tak lagi berbaju merah putih atau putih biru, dan aku
mengerti kedewasaan itu mulai menghampiri mulai memperkenalkan cinta
yang akut. Tapi apa cinta itu harus mengorbankan SAHABAT? entahlah yang
pasti aku rindu sahabatku yang dulu, sahabatku yang lucu dan jahil,
sahabatku yang tak pernah lupa mengingatkanku, sahabatku yang selalu
mewarnai hariku, sahabatku yang baik, yang menemaniku setiap hal pertama
yang aku lakukan di dunia ini. Namun sekarang telah berbeda dia telah
menjelma menjadi orang dewasa yang menyebalkan.
Tak terasa sudah sepekan aku tak berkomunikasi dengan Fakhri, aku
mencoba untuk mengikuti keinginannya untuk tak lagi menyapa kehidupan
barunya, ya.. kehidupannya bersama Fairy kekasih terhebatnya. Pagi ini
aku memilih menghabiskan akhir pekan di taman favoritku dan… “aaah…”
rasanya tak perlu menyebut nama itu lagi. Seperti hari-hari kemarin tak
ada yang istimewa di akhir pekanku kali ini, tak ada lagi jalan-jalan,
bersepeda atau bersandau gurau riang, seperti akhir pekan yang lalu.
Memang tadi pagi Saufi dan Taliva mengajaku hangout bersama, tapi
rasanya tak ada gairah untuk pergi kemanapun. Aku hanya ingin sendiri
saat ini, menikmati kesepian yang sedang menghampiri hidupku.* Ah…
rasanya galauku berlebihan dia hanya S.A.H.A.B.A.T ku dan tak lebih *
kata-kata itu yang sedang coba ku rangkai, di benaku sekarang. Aku duduk
terdiam, menatap langit yang kebetulan terlihat begitu biru pagi ini,
namun sayang tak sebiru hatiku. Tiba-tiba handpone ku berdering,
menandakan ada pesan singkat yang masuk,
From: Fakhri
Lo dimana? Bisa ketemu?
Aku masih tak percaya Fakhri mengirim pesan, setelah sepekan dia
melupakan ku, tanpa komunikasi septah kata pun. Tanpa pikir panjang aku
langsung membalas pesan dari Fakhri.
To: Fakhri
Di taman. Ada apa?
Setelah sepuluh menit berlalu, aku melihat Fakhri di hadapanku dengan
membawa kardus kecil berwarna coklat. “Fakhri” ucapku seraya tersenyum,
berharap Fakhri benar-benar kembali. Tapi apa yang terjadi tak seperti
yang ku pikirkan. “Gue kesini mau ngembaliin ini” ucapnya sambil
menyodorkan kardus yang dibawanya. “Ini apa?” tanyaku polos. “Album foto
kita” jawab Fakhri datar. Aku tertunduk tanpa kata lagi, rasanya
bendungan air mata ku tak sanggup lagi ku tahan dan air mata ini
akhirnya jatuh juga.
Fakhri memegang kedua pundaku, dia menatapku tajam “Kemarin Fairy
ngelihat, dan dia nyuruh gue buang ini, tapi gue gak sanggup” Fakhri
menghela nafasnya sejenak “Makanya gue kembaliin ini ke lo, maafin gue,
gue gak mau nyakitiin perasaan Fairy dia terlalu baik buat gue, dan gue
gak mau kehilangan dia”. Aku hanya terdiam sambil terisak menahan
tangis, kemudian Fakhri memelukku sebentar sebelum akhirnya dia
meninggalkanku sendiri.
Kali ini aku sangat kecewa, rasanya lebih perih dari perkataanya
waktu itu. Kini aku merasa dia benar-benar meng’unfollow aku dari
hidupnya, bahkan mungkin dia tak ingin lagi aku melihat profil hidupnya.
Setelah saat itu aku mulai mencoba melupakan keberadaan Fakhri dalam
kehidupan ku. Namun setelah 3 pekan akhirnya aku menyerah juga, aku
meminta kepada ayah dan bunda untuk pindah sekolah ke bandung, dan
tinggal bersama nenek dengan beralasaan aku ingin menjaga nenek.
Hari sabtu sebelum aku berangkat kebandung, aku berpamitan kepada
Saufi dan Taliva di taman, “Lo, bener gak mau pamitan sama anak-anak di
kelas” tanya Taliva “Gak, gue buru-buru, gue titip salam aja ya buat
mereka” sahutku. Mereka memelukku erat “Lo jangan lupain kita ya, gue
sayang sama lo” ujar Saufi merengek manja. Aku hanya mengangguk pelan,
sebentar lagi aku akan meninggalkan semuanya, rumahku, sekolahku,
teman-temanku dan semua kenangan bersama sahabatku yang kini tak
mengharapkan keberdaanku lagi.
Setelah 15 menit bercengkrama perpisahan dengan Taliva dan Saufi, aku
mulai beranjak melangkahkan kakiku menuju mobil yang sedari tadi
menungguku, untuk segera meninggalkan kota jakarta dan membawaku pergi
meninggalkan semua kenangan. Entah, kaki ku terasa begitu berat untuk
melangkah, seakan tak ingin pergi, begitu juga hatiku, yang menangis
bersedih mengingat Fakhri, ‘dulu ketika kita bertemu begitu manis, tapi
kenapa saat kita berpisaah rasanya pahit, bahkan lo gak ada buat
ngucapin salam perpisahan’. Jeritku dalam hati, memang semalam aku sudah
memberi tahu Fakhri akan kepindahan ku ke bandung via BBM, tapi tak
digubrisnya, padahal aku hanya berharap bisa mengucapkan salam
perpisahan terakhir untuk seseorang yang selama ini mewarnai hidupku.
Ah.. sudahlah mungkin Fakhri tak peduli lagi, tiba-tiba langkahku
terhenti, ada seseorang dari kejauhan sana yang berlari sambil berteriak
memanggil namaku “Ayell…”. “Fakhri” desisku pelan, dengan nafas
tersenggal, Fakhri memeluku, aku hanya terdiam, mungkin tak percaya.
“Gue mohon lo jangan pergi gue minta maaf sama lo” ujar Fakhri tanpa
koma. Tapi aku tak menyahut, aku masih terdiam mematung, Fakhri
menatapku “Maafin gue Yell, gue bodoh, selama ini gue ngelupain lo
sahabat gue, yang jelas gue kenal, cuman buat Fairy yang gue anggap
cinta sejati gue, tapi nyatanya dia ngehianatin gue” ujar Fakhri
menangis. Aku ikut menangis melihatnya, namun kali ini menangis bahagia
karena sahabatku kembali. Fakhri mengusap air mataku, “Fakhri, cinta
sejati bukan hanya dia yang jadi pacar lo, tapi cinta sejati juga dia
yang menemani lo tanpa pamrih, sahabat kita, orang tua kita, itu juga
cinta sejati” tuturku lembut seperti sedang menasehati seorang anak yang
lupa jalan hidupnya.
Cerpen Karangan: Ina Marlina
bagaimana nilai sobat terhadap blog ini
No Comments
Aku Rindu Sahabatku
.