SELAMAT MEMBACA
Valentine's Day Pumping Heart

bagaimana nilai sobat terhadap blog ini

Sejarah Perkembangan Masyarakat Madani


.

SEJARAH PERKEMBANGAN MASYARAKAT MADANI
Menurut Dawam Rahardjo yang dikutip Azra Azyumardi (2003:242) Pemikiran yang berkaitan dengan masyarakat madani telah mengemuka sejak zaman Yunani Kuno (sekitar 300 sM).
Berikut dikemukakan pandangan beberapa ahli :
Aristoteles (384-322 sM)
“Masyarakat madani dipahami sebagai sistem kenegaraan, dengan menggunakan istilah “Koinonia Politike”, yakni sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai percaturan ekonomi-politik dan pengambilan keputusan. Subsanti pemikirannya menggambarkan sebuah masyarakat politis dan etis yang sama kedudukan dalam hukum, hukum adalah etos, prosedur politik, pentingnya dasar kebijakan (virtue) dari berbagai bentuk interaksi warga negara”.
Cisero (106-43 sM)
Cisero menamakannya dengan “societies civilies” yaitu sebuah komunitas yang mendominasi komunitas lainnya. Termanya yang dikedepankannya menekankan pada konsep Negara Kota (city state).

Thomas Hobbes (1588-1679 M)
Menurut Hobbes, masyarakat madani harus memiliki kekuasaan mutlak, agar mampu mengontrol dan mengawasi secara ketat pola-pola interaksi (perilaku politik) setiap warga negara.
John Locke (1632-1704)
Kehadiran masyarakat madani dimaksudkan untuk melindungi kebebasan dan hak milik setiap warga negara, masyarakat tidak boleh absolut dan harus membatasi perannya pada wilayah yang tidak dapat dikelola masyarakat dan memberikan ruang yang manusiawi bagi warga negara untuk memperoleh haknya secara adil.
Adam Ferguson
Mendasari konteks sosio-kultutal dan politik Skotlandia, Adam Fergoson pada (1767) menekankan masyarakat madani pada sebuah visi etis dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk mengantisipasi perubahan sosial akibat revolusi industri dan mencoloknya perbedaan antara publik dan individu. Ferguson berharap publik memiliki spirit sebagai filter terhadap despotisme, karena itulah dalam masyarakat madani solidaritas sosial muncul yang diilhami sentimen moral dan sikap saling menyayangi sesama warga.
Thomas Paine (1737-1804)
Paine mentranskripsi masyarakat madani dengan kelompok masyarakat yang mempunyai posisi diametral dengan negara, bahkan tesis dari negara. Masyarakat madani adalah ruang bagi warga negara mengambangkan kepribadian dan peluang bagi pemuasan kepentingan secara bebas dan tanpa paksaan. Olehnya itu kekuasaan negara harus dibatasi.
Frederick Hegel (1770-1831)
Hegel menyatakan bahwa struktur sosial dalam masyarakat terbagi dalam 3 (tiga) entitas, yakni keluarga, masyarakat madani, dan negara. Keluarga merupakan ruang sosialisasi pribadi anggota masyarakat berciri keharmonisan. Masyarakat madani merupakan lokasi tempat berlangsungnya percaturan berbagai kepentingan pribadi dan golongan untuk kepentingan tertentu terutama ekonomi, sedangkan negara sebagai representasi ide universal yang bertugas melindungi kepentingan warganya dan berhak penuh intervensi terhadap masyarakat madani.
Karl Marx
Karl Marx memahami masyarakat madani sebagai kaum borjuis, dalam konteks hubungan produksi kapitalis, keberadaannya merupakan kendala bagi pembebasan manusia dari penindasan, makanya ia harus dilenyapkan untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas. Marx menempatkan masyarakat madani pada sisi relasi produksi.
Antonia Gramschi
Berbeda dengan Marx, Gramschi menempatkan masyarakat madani pada tataran suprastruktur yang diistilahkan dengan “political society”. Masyarakat madani merupakan tempat perebutan posisi hegemonik diluar kekuatan negara. Didalamnya aparat hegemoni mengembangkan hegemoni untuk membentuk konsensus dalam masyarakat. Gramschi lebih mengkrucut tekanannya pada kekuatan cendekiawan sebagai aktor penting dalam proses politik.
Alexis de ‘Tocqueville (1805-1859)
Dengan mencermati latar belakang demokrasi Amerika, de ‘Tocqueville mengembangkan teori masyarakat madani sebagai entitas penyeimbang kekuatan negara. Bagi de ‘Tocqueville, masyarakat madani-lah yang menjadikan demokrasi Amerika mempunyau daya tahan. Dengan terwujudnya pluralitas, kemandirian dan kapasitas politik masyarakat madani maka kekuasaan negara dapat dikontrol. Masyarakat madani bersifat otonom, menjadi kekuatan penyeimbang (balancing force) terhadap kekuatan intervensionis negara, sebagai sumber legitimasi dan pemrakarsa kritis reflektif (reflektive-force) untuk  mengurangi konflik publik, berorientasi individualistis tapi sensitif terhadap kepentingan publik.
Dari berbagai pandangan tersebut diatas, pandangan Gramschi dan de ‘Tocqueville yang menjadi salah satu inspirasi gerakan demokrasi di Eropa Timur dan Tengah dasawarsa 80-an, pandangan de ‘Tocqueville kemudian diperkaya oleh Dawam Rahardjo, Opini Hannah Arrendt dan Juergen Habermas yang menekankan adanya ruang publik yang bebas (the free publik sphere), Institusionalisasi dari ruang publik yang ditandai dengan hadirnya lembaga-lembaga pelayanan semua kepentingan dan kebutuhan masyarakat (Azra Azumardi,2003:247)

Your Reply